MUHASABAH HATI TERPENJARA DALAM APA YANG DICINTAINYA

 

Saudaraku,

Banyak orang sukses dalam menghadapi ujian kesempitan hidup, tapi sedikit orang yang mampu lulus dengan ujian kelapangan hidup. Ketika diuji dengan penyakit,  kemiskinan dan kesusahan hidup, banyak orang yang mampu tawakkal (berserah diri) kepada Allah Azza wa Jalla. Bahkan musibah itu membuat mereka tersadar atas kesalahan-kesalahan sebelumnya, sehingga mereka mampu memperbaiki diri untuk hari-hari selanjutnya...


Namun ketika diberi kelapangan hidup, kekayaan, kesehatan, kemakmuran, dan kebahagiaan, sedikit orang yang merasa bahwa ia lagi diuji oleh Allah Azza wa Jalla. Mereka mengira ujian hanya dalam bentuk kesempitan, dan tidak ada ujian pada kelapangn. Padahal Rasulullah sudah mewanti-wanti dengan sabdanya, “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu olehnya; kesehatan dan kelapangan.”


بَسَطكَ كَىْ لاَيُبْقِيَكَ مَعَ اْلقَبْضِ وَقَبَضَكَ كَىْ لآ يَتْرُ کَكَ مَعَ اْلبَسْطِ وَاَخْرَجَكَ عَنْهُمَـاکَيْ لاَ تَکُوْنَ لِثَيْءِ.


"Allah memberi kamu kelapangan agar kamu tidak selalu dalam kesempitan. Allah memberi kesempitan kepadamu, agar kamu tidak hanyut di waktu lapang. Allah melepaskan kamu dari dua-duanya, agar kamu tidak menggantungkan diri, kecuali kepada Allah belaka."


Kesempitan dan kelonggaran yang telah menjadi kebiasaan manusia yang hidup di dunia ini hendaklah diikuti dengan sifat khauf dan raja'. Sifat ini tersimpan dalam lubuk jiwa seorang hamba. Bagaimana gerakan hati dan pikiran (batin) hamba yang sedang dalam kelonggaran, dan bagaimana pula gerakan hati dan pikiran orang yang sedang dalam kesempitan.


Khauf adalah sifat orang beriman yang selalu khawatir kalau-kalau amal ibadah yang sedang ia jalankan tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla, sehingga kesempatan-kesempatan yang ada padanya dimanfaatkan sebaik mungkin agar amal ibadahnya semakin sesuai dengan tuntutan Al Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam...


Dengan demikian ia berada dalam posisi raja', senantiasa tetap berharap agar amal ibadah yang telah dijalankan diterima oleh Allah Azza wa Jalla, sebagai ibadah yang shaleh dan sahih... 


Saudaraku,

Ada sebuah ulasan dalam Zaadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim yang didedikasikan untuk meraih ibrah (pelajaran) dari sejarah hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya beliau memaparkan sebab-sebab atau sumber-sumber kelapangan hati... 


Sumber pertama adalah tauhid. Seberapa lapang hati seseorang berhubungan erat dengan seberapa kuat, sempurna, dan pertambahan keyakinan tauhidnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,


فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ


“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” 


(QS. Al-An’am: 125)


Sumber kedua adalah cahaya iman. Tatkala cahayanya lenyap dari hati, maka seseorang akan menghadapi kegelapan, sehingga merasa seolah-olah terkungkung dalam penjara paling sempit. Sebagaimana cahaya bisa membuat ruangan terkesan luas, demikian pula iman akan melapangkan hati. Maka, Al-Qur’an pun menggambarkan kekafiran (yakni, kebalikan iman) sebagai kegelapan yang berlapis-lapis, Allah Azza wa Jalla berfirman,


“Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak pula, di atasnya lagi awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, nyaris dia tidak dapat melihatnya. Barangsiapa yang tiada diberi cahaya iman oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” 


(QS. An-Nur: 40)


Sumber ketiga adalah ilmu. Tepatnya, ilmu yang diwarisi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan sembarang ilmu. Dengannya, hati terasa sangat lapang bahkan lebih lapang dari dunia ini. Warisan kenabianlah yang membuatnya memiliki kesabaran berlipat, akhlak termulia, serta kehidupan paling tenteram. Al-Hasan al-Bashri berkata, 


“Dulu, bila seseorang telah mencari ilmu, maka tidak lama kemudian akan terlihat pengaruhnya pada tatapan matanya, kekhusyu’annya, lisannya, tangannya, shalatnya, dan kezuhudannya.” Beliau juga berkata, “Jika seseorang telah memperoleh satu bab dari ilmu, lalu ia mengamalkannya, maka jadilah ilmu itu lebih baik baginya dibanding dunia seisinya, andai ia memiliki dunia itu lalu ia menjadikannya untuk akhirat.” 


(HR. Darimi, keduanya dengan sanad shahih)


Sumber keempat adalah kembali kepada Allah Azza wa Jalla secara totalitas, "tanpa tapi" dan "tanpa nanti", mencintai-Nya, berfokus kepada-Nya, dan menikmati asyiknya beribadah. Rasa cinta memiliki pengaruh ajaib terhadap kelapangan hati. Cinta membuat jiwa tenteram dan hati nyaman, apalagi cinta kepada Allah Azza wa Jalla, Tuhan semesta alam. Sudah dipahami bahwa tiada kenikmatan bagi pecinta selain berjumpa, bercengkrama, dan berdua-duaan dengan kekasihnya. Ia pasti ingin berlama-lama bersamanya. Bila terpisah, ia pun sangat rindu ingin bertemu. Bila ia dihalangi dari yang dicintainya, hatinya akan merana...


Dapat dipastikan, orang yang gemar dan ringan beribadah tentu sangat mencintai Tuhannya. Cintalah yang mendorongnya untuk segera bangkit menyambut panggilan Kekasihnya dengan penuh semangat. Oleh karenanya, diriwayatkan bahwa Nabi Dawud ‘alaihi sallam pernah berdoa,


“Ya Allah, sungguh aku mohon diberi rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu, juga amal-amal yang akan membawaku sampai kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaan kepada-Mu lebih aku cintai dibanding diriku sendiri, keluargaku, dan air yang sejuk.” 


(HR. At Tirmidzi)

 

Saudaraku,

Siapa pun yang berpaling dari Allah Azza wa Jalla, melupakan-Nya, mencintai dan bergantung kepada selain-Nya, niscaya hidupnya menjadi sempit,


وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً

قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى


“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” 


(QS: Thaha: 124-126)

 

Bila seseorang mencintai selain Allah Azza wa Jalla, jiwanya akan tersiksa karenanya. Hatinya pun terpenjara dalam apa yang dicintainya itu, sebab semua selain Allah Azza wa Jalla mudah berubah dan tidak terjamin kepastiannya. Ketika itulah pikirannya kacau, hidupnya berantakan, dan hatinya sangat kelelahan. Maka, tidak ada yang lebih malang darinya di dunia ini...


Keadaan manusia selalu berubah-ubah, tidak selalu tetap pada satu keadaan. Allah Azza wa Jalla yang mengubahnya dari sulit menjadi mudah, susah menjadi gembira, kegelapan menjadi cahaya, sakit menjadi sehat, ataupun sebaliknya. Semua perubahan itu datangnya dari Allah. Karena pada setiap detik Allah Azza wa Jalla mempunyai penentuan yang tidak bisa dielakkan oleh manusia,


كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ


“Pada setiap detik Allah dalam urusan.” 


(QS. Ar-Rahman: 29)


Perubahan-perubahan itu terjadi agar manusia mengerti bahwa ketentuan Allah Azza wa Jalla pasti terlaksana dan tidak bisa ditolak. Juga agar manusia selalu memakai landasan la haula wa laa quwwata illa billah (tiada daya untuk menolak sesuatu dan tiada kekuatan untuk melakukan sesuatu kecuali dari pertolongan-Nya). Begitu pula supaya manusia tidak menyesali terhadap apa yang luput dan terlepas darinya dan tidak merasa senang dengan apa yang ia dapatkan, sehingga ia menyerah dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla,


لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ


“Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” 


(QS. Al-Hadid: 23)


Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa taat kepada Allah Azza wa Jalla, baik dalam kelapangan maupun kesempitan untuk meraih ridha-Nya...

Aamiin Ya Rabb.


Wallahua'lam bishawab

Posting Komentar

0 Komentar